
Tahun 2025: Serangkaian Bencana yang Menggambarkan Kekhawatiran Lingkungan di Indonesia
Tahun 2025 ditutup dengan serangkaian bencana alam yang menunjukkan betapa ekstremnya cuaca dan seberapa rapuhnya lingkungan hidup di Indonesia. Salah satu peristiwa paling mengerikan adalah banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Sumatera pada akhir November. Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat mengalami dampak yang sangat parah.
Bencana ini tidak hanya menyebabkan korban jiwa manusia dan kerusakan materi, tetapi juga memicu kekhawatiran global mengenai dampaknya terhadap lingkungan, hutan, serta satwa liar yang tinggal di dalamnya.
Awal Bencana: Siklon Tropis Senyar Picu Hujan Lebat
Pada tanggal 25 hingga 27 November 2025, wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat diguyur hujan lebat dengan intensitas ekstrem. Menurut Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Teuku Faisal Fathani, fenomena ini dipicu oleh kemunculan siklon tropis Senyar di wilayah tersebut.
Citra radar dan pemantauan BMKG menunjukkan bahwa curah hujan mencapai level hitam pada peta, yang menandakan volume air yang sangat tinggi. Faisal menjelaskan bahwa curah hujan pada hari-hari tersebut melebihi rata-rata bulanan di beberapa wilayah. Contohnya, di Kabupaten Bireuen, curah hujan mencapai 411 mm per hari, yang bahkan lebih tinggi dari curah hujan bulanan di sana, mungkin setara dengan 1,5 bulan.
Pergerakan awan konvektif yang besar akibat siklon ini menyebabkan hujan terus-menerus tanpa jeda. Hal ini berdampak pada peningkatan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya pada Bencana
BMKG menegaskan bahwa kondisi tanah di sejumlah wilayah tidak mampu menahan volume air yang jatuh dalam waktu singkat. Tanah yang jenuh meningkatkan risiko longsor, sedangkan aliran sungai meluap secara cepat.
Faisal menjelaskan bahwa hal ini menjadi penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi yang masif. Banjir bandang dan tanah longsor paling parah terjadi di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Banyak desa terisolasi, akses jalan terputus, dan permukiman tertimbun material tanah.
Peran Kebijakan Pemerintah dalam Bencana
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyoroti bahwa bencana banjir dan tanah longsor bukan hanya fenomena alam, tetapi juga bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan ekosistem Batang Toru. Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Jaka Kelana Damanik, menekankan bahwa wilayah-wilayah terdampak memang masuk dalam kategori risiko tinggi untuk bencana banjir dan longsor.
Ia menilai bahwa campur tangan manusia, seperti penebangan hutan dan pembangunan infrastruktur, telah memperparah situasi ini. Dalam laporan kajian risiko bencana nasional Provinsi Sumatera Utara tahun 2022-2026, wilayah-wilayah ini dinyatakan sebagai daerah rawan.
Kayu Gelondongan Terbawa Arus Banjir
Ahli Kebijakan Hutan IPB University, Prof. Dodik Ridho Nurochmat, menyoroti ribuan kayu gelondongan yang ikut terseret arus banjir. Ia menduga bahwa kayu-kayu ini berasal dari berbagai sumber, termasuk penebangan liar, pohon tumbang alami, dan sisa-sisa land clearing yang tidak tuntas dibersihkan.
Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, menilai bahwa adanya kayu gelondongan di lokasi bencana menunjukkan indikasi kuat keterlibatan aktivitas manusia. Ia mengaitkan temuan ini dengan kasus serupa yang pernah ia tangani di kawasan lindung Sumatera Utara.
Hilangnya Hutan dan Sistem Penyangga Alami
Menurut Prof. Bambang, hutan yang sehat memiliki struktur berlapis yang berfungsi sebagai sistem penyangga alami. Struktur ini membantu menjaga keseimbangan lingkungan dan mengendalikan daur air. Tajuk hutan yang rapat dan bertingkat memecah laju air hujan sebelum sampai ke permukaan.
Selain itu, keberadaan tumbuhan bawah dan serasah di permukaan tanah penting dalam menyerap air dan menjaga kestabilan ekosistem. Dalam kondisi alami, pohon tumbang bukan ancaman signifikan, karena ruang kosong akan segera diisi oleh regenerasi spesies baru. Namun, aktivitas pembalakan liar mengganggu vegetasi hutan, sehingga mengurangi ketahanan alami terhadap bencana.
Data Korban dan Kerugian Ekonomi
Berdasarkan rekapitulasi korban di tiga provinsi terdampak, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada Selasa (17/12/2025) malam, BNPB mencatat korban jiwa mencapai 1.053 jiwa. Selain itu, ada 200 orang yang hilang dan 606.040 warga yang mengungsi.
Bencana ini juga menyebabkan kematian gajah Sumatera dan Orangutan Tapanuli. Populasi orangutan Tapanuli yang tersisa kurang dari 800 individu di alam liar, dan diperkirakan sekitar 33-54 individu mati dalam bencana ini.
Kerusakan infrastruktur tercatat sangat parah, termasuk rumah rusak sebanyak 157.900 unit, fasilitas umum 1.200 unit, dan jembatan 498 unit. Kerugian ekonomi di tiga provinsi utama mencapai lebih dari Rp 2 triliun per provinsi, dengan total estimasi kerugian ekonomi keseluruhan mencapai Rp 68,67 triliun.
0 Response to "Kaleidoskop 2025: 1.000 Tewas dalam Banjir Sumatera dan Kritik Ahli"
Posting Komentar