Ibu, Aku Tumbuh dari Doa Tersembunyi Mu

Mengenang Ibu sebagai Cinta Paling Setia


Bu, di Hari Ibu ini aku belajar bahwa cinta tidak selalu hadir dalam pelukan, tetapi dalam doa yang diam-diam kau panjatkan sepanjang hidupku. Meski waktu memisahkan, namamu tetap tinggal di setiap langkah yang kutempuh dan setiap harap yang kupeluk.

Bu, kalau hari ini dunia merayakan Hari Ibu, izinkan aku ikut merayakannya juga dengan caraku sendiri. Bukan dengan bunga yang layu dalam hitungan hari, bukan pula dengan hadiah yang mungkin terlupa di sudut lemari, melainkan dengan doa yang tak pernah selesai dan ingatan yang terus hidup di kepalaku. Hari Ibu bagiku bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan jeda sejenak untuk mengingat betapa panjang dan sunyinya jalan yang pernah Ibu lalui demi aku, adik-adik, ayah, dan keluarga.

Aku ingin berterima kasih, Bu, untuk hal-hal kecil yang dulu sering luput dari perhatianku. Untuk setiap pagi yang Ibu mulai dengan doa, bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Untuk setiap malam yang Ibu tutup dengan rasa lelah, tetapi tetap menyisakan senyum agar aku tak bertanya terlalu banyak. Untuk setiap pertanyaan sederhana, "apakah dirimu sehat, Nak?" "sudah makan dirimu, Nak?" "bagaimana dengan hari-harimu, Nak?" "kamu kapan pulang Nak, ibu kangen?" yang dulu sering kujawab singkat, atau bahkan kuabaikan, tanpa pernah menyadari bahwa di balik kalimat itu ada kekhawatiran, ada cinta, ada harap agar anakmu baik-baik saja dan selamat.

Waktu kecil, aku mengira semua itu wajar. Aku mengira memang sudah tugas seorang ibu untuk selalu ada, selalu siap, selalu kuat. Aku tidak pernah bertanya dari mana Ibu mendapatkan tenaga untuk bangun lebih awal dari semua orang dan tidur paling akhir. Aku tidak tahu dari mana Ibu meminjam kesabaran untuk menghadapi keras kepalaku, tangisku, bahkan diamku yang kadang lebih menyakitkan daripada amarah.

Hari Ibu selalu datang membawa perasaan yang tak pernah sederhana. Ada bahagia, ada haru, dan ada rindu yang tak terucap.

Sekarang, ketika usia membuatku sedikit lebih paham tentang hidup, aku baru mengerti bahwa menjadi ibu bukan perkara mudah. Menjadi ibu berarti memikul banyak beban sendirian, tanpa tepuk tangan, tanpa panggung, tanpa jeda. Ibu harus belajar menyembunyikan lelah di balik tawa, menelan tangis di balik doa, dan tetap berdiri tegak meski hati sering kali retak. Dulu aku pikir Ibu selalu kuat. Ternyata Ibu hanya terlalu pandai menyembunyikan rapuhnya agar aku tidak ikut hancur.

Hari Ibu sering dirayakan dengan kalimat manis dan foto penuh senyum. Namun di balik itu semua, ada cerita sunyi yang jarang dibicarakan. Tentang ibu yang menunda mimpinya sendiri demi anak-anaknya. Tentang ibu yang memilih diam ketika lelah, karena merasa tak punya ruang untuk mengeluh. Tentang ibu yang terus memberi, bahkan ketika dirinya sendiri hampir habis dan nyaris lupa bagaimana rasanya dimengerti.

Bu, aku rindu. Rindu segalanya yang dulu menjadi keseharian, yang dulu terasa biasa, tetapi kini menjadi sesuatu yang mahal. Rindu masakan sederhana yang selalu terasa paling enak di dunia, meski mungkin bumbunya tak pernah tercatat di buku resep mana pun. Rindu nasihat panjang yang dulu sering kuanggap cerewet, padahal di dalamnya tersimpan doa dan harap agar hidupku tidak terlalu keras. Dan terutama, rindu pelukan Ibu, pelukan yang entah bagaimana caranya, selalu bisa membuat masalah sebesar apa pun terasa lebih ringan.

Bagi sebagian orang, Hari Ibu dirayakan dengan pelukan dan tawa. Namun bagi sebagian lainnya, ia hadir sebagai kenangan yang sunyi di dada.

Hari ini, di Hari Ibu, aku menyadari bahwa banyak hal baru terasa berarti setelah semuanya tak lagi utuh. Banyak kata baru terasa penting setelah tak lagi sempat diucapkan. Aku menyesal, Bu, untuk waktu-waktu ketika aku lebih sibuk dengan duniaku sendiri dan lupa menanyakan kabar Ibu. Untuk hari-hari ketika aku terlalu yakin bahwa Ibu akan selalu ada, tanpa pernah berpikir bahwa waktu juga punya caranya sendiri untuk mengambil seseorang.

Namun jika ada satu hal yang ingin aku yakini, itu adalah bahwa cinta seorang ibu tidak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal dalam doa yang diam-diam dipanjatkan, dalam nasihat yang terus terngiang, dalam nilai-nilai hidup yang tanpa sadar kita bawa ke mana pun melangkah. Ibu mungkin tak lagi selalu di sisiku, tetapi kehadirannya hidup dalam caraku memandang dunia, dalam caraku mencintai, dalam caraku bertahan ketika keadaan tidak lagi ramah.

Hari Ibu seharusnya bukan hanya tentang mengucapkan terima kasih, tetapi juga tentang mengingat. Mengingat bahwa di balik keberhasilan anak-anaknya, ada ibu yang pernah lelah. Di balik senyum kita hari ini, ada ibu yang pernah menahan tangis. Di balik langkah tegap kita, ada ibu yang diam-diam mendoakan agar kita tidak jatuh terlalu dalam, agar kita selalu menemukan jalan pulang.

Hari Ibu bukan sekadar perayaan, melainkan ruang hening untuk mengenang.

Bu, jika doaku bisa sampai kepadamu hari ini, ketahuilah bahwa aku baik-baik saja, dan aku belajar menjadi manusia dari caramu mencinta. Terima kasih telah menjadi rumah paling hangat yang pernah kumiliki. Selamat Hari Ibu, Bu. Engkau mungkin tak selalu terlihat, tetapi cintamu tak pernah benar-benar tamat, ia hidup, bernapas, dan menetap selamanya di dalam diriku.

Dalam ingatan, dalam doa, dalam diri kita. Dan di sanalah ibu selalu hidup serta bernapas lega!

0 Response to "Ibu, Aku Tumbuh dari Doa Tersembunyi Mu"

Posting Komentar