Api di Jalan Tallo

Api di Jalan Tallo

Jeritan di Beroanging

Di bawah langit Makassar malam itu, pekuburan Beroanging menjadi ladang kecemasan. Suara gaduh bergema antara nisan dan gang sempit, lampu jalan berkelip redup. Ada bisik-bisik di antara kerumunan; kabar menyebar dari rumah ke rumah, dari gang ke gang, bahwa seorang pria telah tewas. Cerita bermula dari senapan angin, dari panah yang tertancap, dari dendam yang menunggu waktu.

Seperti dalam simfoni kelam, malam itu pecah. Sekelompok massa berkumpul, tergugah oleh kematian — tetapi bukan hanya kematian, melainkan kematian yang disinyalir tak wajar. Wajah-wajah muda muncul di antara bayang-bayang. Obor kecil, nyala api dari botol, sorakan, langkah kaki yang bergetar. Rumah-rumah mulai terbakar, kayu, pintu, jeruji, semua berderak dalam kobaran. Bau asap dan debu menyesak paru-paru, sementara jeritan “jangan! berhenti!” tertelan oleh gegap gempita kerusuhan.

Polisi datang, mencoba membendung amarah. Tapi massa berderap, melawan. Ada suara ledakan kecil, lemparan benda – dugaannya molotov — menyambar dinding batu, menerbitkan kobaran baru. Di tengah kekacauan itu, menjadi jelas, ini bukan sebuah tawuran biasa. Ini adalah perang kampung, perang simbol, perang identitas. Jalan-jalan kecil berubah menjadi parit pertempuran.

Saat fajar meraung pelan, hanya puing dan abu yang tinggal. Tiga hingga tujuh rumah — versi media berbeda-beda — luluh oleh api. Aroma hangus masih membayangi dinding, seolah menodai air mata mereka yang tersisa. Warga berujar dalam bahasa rendah tapi tegang, “ini tak akan selesai sampai keadilan datang.” Beberapa berdiri diam, wajah menunduk, enggan bicara. Mereka tahu, malam itu lebih dari sekadar kerusuhan; ia adalah luka yang menganga.

Para Lelaki muda, remaja, dan pemuda muncul, dengan mata lelah tapi semangat berkobar. Dalam diam, mereka menatap reruntuhan, sambil sesekali menyalakan rokok, menghirup asap dan menatap abu. Ada yang menitikkan air mata, ada yang mengeraskan suara, “ini kampung kami”. Sementara di pojok, polisi mencatat, mengambil foto, dan berjanji akan menyelidik. Tapi keraguan menggelayut, apakah ini hanya akan menjadi satu dari banyak laporan polisi yang lenyap dalam lembar administrasi?

Di balik semua api dan duka, pekuburan Beroanging pun sunyi kembali — seolah memberi istirahat sementara pada dendam yang sementara padam. Namun di benak banyak anak gang, nyala itu tidak padam; ia cuma tertahan, menunggu embusan angin berikutnya.

Wajah Lain Makassar

Untuk memahami mengapa api ini bisa menyala begitu cepat di Beroanging, kita perlu menengok wajah lain Makassar, dalam hal ini wajah sosial, demografis, dan struktural. Di mana keretakan itu tumbuh; di mana ketidakadilan diam; di mana kesenjangan menjadi bahan bakar kontagion kekerasan.

Berdasarkan Kota Makassar Dalam Angka 2025 dari BPS Kota Makassar, penduduk kota ini mencapai sekitar 1.477.861 jiwa pada tahun 2024. Kecamatan Tallo — lokus dua kampung yang terlibat tawuran — berpenduduk 148.008 jiwa menurut data Satu Data Makassar. Luas kecamatan Tallo hanya 5,83 km², menjadikannya wilayah dengan kerapatan yang tinggi dan interaksi sosial intens.

Pada ranah ekonomi, Makassar menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertumbuhan ekonomi triwulan III tahun 2024 tercatat 2,20 persen secara kuartalan. Secara akumulatif, hingga kuartal tersebut, laju ekonomi Makassar mencapai 5,80 persen dibandingkan periode sebelumnya. Dari sisi produksi, sektor primer (misalnya pertanian, perikanan) tumbuh sebesar 7,49 persen, sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi pemerintahan final naik tajam 8,82 persen.

Namun di balik pertumbuhan ini ada wajah kemiskinan yang tak boleh diabaikan. Data Satu Data Kota Makassar menunjukkan persentase kemiskinan penduduk kota di tahun 2025 sebesar 4,97 persen. Jumlah penduduk miskin tercatat 79.530 jiwa, dengan garis kemiskinan di angka Rp 592.753 per kapita. Indeks kedalaman kemiskinan (seberapa jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan) adalah 0,81 persen, dan indeks keparahan kemiskinan (ketimpangan pendapat di antara orang miskin) sebesar 0,18 persen.

Wajah sosialnya juga punya ketegangan struktural, di kota sebesar Makassar, terdapat 140 anak jalanan, 40 anak yang berhadapan dengan hukum, dan 1.176 penyandang disabilitas, menurut data Satu Data. Fakta-fakta ini bukan sekadar angka — mereka adalah benang merah dari struktur sosial yang masih rapuh, di mana sebagian kecil warga hidup di ambang kerentanan sosial.

Interaksi sehari-hari di gang-gang Makassar, terutama di kecamatan padat, berlangsung dalam kondisi di mana pendapatan rumah tangga sangat bervariasi. Sebagian menikmati pertumbuhan ekonomi kota, sebagian lain tenggelam dalam bayang-bayang kemiskinan, persaingan ruang publik, dan keterasingan institusional. Dalam konteks ini, identitas gang (atau mungkin bisa kita sebut kampung) menjadi semacam benteng sosial, tempat di mana warga saling mengenal, dan di mana rasa solidaritas sekaligus kecemburuan bisa matang menjadi konflik.

Tetapi pertumbuhan ekonomi yang sehat menurut statistik tidak selalu berarti keterlibatan semua warga dalam manfaatnya. Pemerintah lokal mengeluarkan belanja publik besar — dan itu tercermin dari lonjakan pengeluaran pemerintah. Namun, apakah belanja itu berhasil menembus gang-gang Beroanging? Apakah pembangunan dan kebijakan kesejahteraan benar-benar sampai pada anak-anak muda yang rapuh secara ekonomi dan sosial? Di sanubari kerumunan yang berteriak malam itu, pertanyaan ini bergema tanpa jawaban yang pasti.

Makassar, kota pelabuhan, kota dagang, kota gerak cepat dan mobilitas — sekaligus kota dengan wilayah padat, interaksi intens, dan fragmen sosial yang rentan. Di sinilah konflik antarkampung seperti api yang bisa menyambar karena ranting kering dianggap sebagai bahan bakar: perasaan injustis dan klaim identitas dipadatkan dalam ruang sempit dan jiwa yang haus pengakuan.

Subkultur dan Kontagion Kekerasan

Setelah menelusuri narasi kegaduhan malam dan menelisik struktur sosial kota Makassar, tiba saatnya menafsirkan semuanya melalui lensa teori. Dua teori yang kita pilih — teori subkultur kekerasan dan teori kontagion kekerasan — menawarkan pemahaman kritis tentang mengapa konflik seperti di Tallo–Beroanging bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola yang lebih dalam.

Teori subkultur kekerasan (Marvin Wolfgang & Franco Ferracuti, 1967) menyebutkan bahwa di sejumlah komunitas marjinal terbentuk sistem norma tersendiri yang memandang kekerasan sebagai bagian dari kehormatan dan identitas. Dalam kasus Makassar — khususnya di kampung seperti Beroanging atau Sapiria — norma ini tampak nyata, kekerasan bukanlah kegagalan moral, melainkan etos sosial yang diwariskan, dibincangkan, dan dirayakan dalam lingkaran teman sebaya.

Malam kerusuhan itu, ketika para pemuda berkumpul di pekuburan, mereka tidak sekadar dipicu oleh kematian seorang tetangga. Mereka meniru gaya, simbol, dan kodifikasi kekerasan yang telah lama mengakar. Busur panah, senapan angin, bahkan molotov menjadi lebih dari alat — mereka adalah lambang status dan simbol komunitas, semacam "tanda panggilan subkultural". Dalam pandangan subkultur, melawan bukan hanya soal bertahan, tetapi membuktikan keberanian kampung, harga diri kampung.

Sosialisasi antar-remaja sangat penting dalam teori ini. Anak muda di Makassar, tumbuh di jalan sempit dan gang-gang padat, saling belajar satu sama lain, siapa yang paling cepat menanggapi ajakan bentrokan, siapa yang sanggup mengangkat senjata rakitan, siapa yang paling larut dalam sorak massa. Normanya disebarkan tidak lewat sekolah formal, tetapi dari mulut ke mulut, dari kebiasaan, dari cerita masa lalu — dari satu generasi pemuda ke generasi berikutnya. Dalam pertemuan kerusuhan, tampak jelas bagaimana subkultur kekerasan itu hidup dan berkembang, pemuda berdiri tegak, yakin pada identitas mereka, dan siap mempertaruhkan segalanya.

Yang mungkin lebih membingungkan bagi aparat formal, subkultur ini juga membuat legalitas dan moralitas negara menjadi sekunder. Polisi datang sebagai pihak luar, bukan sebagai otoritas moral yang dihormati. Dalam sistem subkultur, kepatuhan pada norma kampung/gang/lorong lebih penting daripada takut pada sanksi hukum. Maka, ketika polisi mencoba membubarkan massa malam itu, respons yang muncul adalah perlawanan — bukan karena kriminalitas semata, tetapi karena konflik nilai, antara norma formal negara dan norma subkultur kampung.

Sedangkan kacamata teori kontagion kekerasan (violence contagion) memberi kita lensa untuk melihat bagaimana kekerasan menular, merambat, dan meledak dalam skala masal. Konsep kontagion ini secara intuitif menyamakan kekerasan sosial dengan epidemi, ada pemicu, ada agen penyebar, dan ada populasi rentan yang siap “terinfeksi” secara emosional dan sosial.

Dalam kisah malam Beroanging, kematian pria yang tertembak diduga senapan angin menjadi pemicu utama, sebuah kejadian tragis yang melepas jutaan butir amarah dan duka. Namun yang membuatnya “meledak” bukan hanya kematian itu sendiri, tetapi bagaimana kabar menyebar — dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, dari WhatsApp ke TikTok. Media sosial dan komunitas lokal berfungsi sebagai virus vector, melalui video, foto, dan cerita yang menyulut kebencian dan kecemasan.

Begitu emosi mulai berkecamuk, mobilisasi massa terjadi dengan cepat dan tampak otomatis. Remaja dan pemuda tak menunggu izin formal — mereka datang, berbaris, meneriakkan slogan, menyalakan api. Dalam kerumunan, kontagion berfungsi sebagai akselerator: satu orang yang marah menjelma puluhan, satu lemparan botol menjadi banyak, satu rumah gosong menjadi beberapa.

Tahap berikutnya adalah spiral eskalasi. Kontagion emosional melahirkan pembalasan, pembalasan melahirkan kehancuran materi. Rumah terbakar, jeritan, luka — setiap adegan kemudian menjadi pemicu untuk gelombang berikutnya. Ini mirip dengan teori epidemi, tanpa “vaksin sosial” (misalnya mediasi, kehadiran negara, penegakan hukum yang dipercaya), virus kekerasan akan terus menyebar dan bereplikasi.

Penting juga dicatat bahwa lingkungan struktural Makassar — padat, heterogen, sosial rentan — adalah “populasi rentan” yang memudahkan kontagion. Ketidakadilan ekonomi, kemiskinan di kampung, serta interaksi sosial harian yang intens menjadi media konduktif: kontagion tidak hanya menyebar lewat narasi, tetapi lewat ruang fisik (gang, pekuburan, gang sempit) di mana orang bertemu, berkumpul, dan memobilisasi diri.

Malam di Beroanging hanyalah satu adegan dalam narasi panjang Makassar — tetapi dalam adegan itu tersimpan simbol besar, api sebagai luapan duka, panah sebagai bahasa identitas, kerumunan sebagai tubuh komunitas yang saling menuntut keadilan. Melalui data demografis dan ekonomi, kita melihat bahwa kota ini bukan monolit; ia adalah susunan fragmen sosial dengan ketimpangan dan kerentanan. Kita menyadari bahwa kekerasan bukan hanya pilihan sesaat, melainkan cara hidup komunitas, dan juga proses menular yang memerlukan “vaksin sosial”.

Jika Makassar ingin meredam konflik ini, ia harus menimbang intervensi bukan hanya sebagai operasi keamanan, tetapi sebagai pembentukan norma baru, norma damai yang bisa bersaing dengan norma subkultural, dan kanal dialog yang bisa menghentikan kontagion sebelum bara berubah menjadi inferno. Tidak ada satu resep instan, tetapi dengan pemahaman yang dalam, kita bisa mulai merancang masa depan di mana gang Tallo tak lagi bergema dengan jeritan api, tetapi dengan nyanyian harapan.

0 Response to "Api di Jalan Tallo"

Posting Komentar