
Fenomena Kesehatan Mental pada Remaja Indonesia
Krisis kesehatan mental di kalangan remaja Indonesia semakin menjadi perhatian serius. Angka yang tercatat menunjukkan bahwa sekitar 34,9% dari 15,5 juta remaja berusia 10–17 tahun pernah mengalami sedikitnya satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Masalah ini mencakup depresi, kecemasan, trauma, dan gangguan pemusatan perhatian serta hiperaktivitas (ADHD). Angka-angka ini tidak hanya sekadar data statistik, tetapi juga gambaran nyata dari kegelisahan yang dialami generasi muda.
Dari jumlah tersebut, 5,5% atau sekitar 2,45 juta remaja memenuhi kriteria gangguan mental klinis. Gangguan kecemasan menjadi diagnosis yang paling umum. Meskipun prevalensinya hampir sama antara laki-laki dan perempuan, ada perbedaan dalam pola gejala: remaja perempuan lebih rentan mengalami kecemasan, sementara remaja laki-laki cenderung menunjukkan gejala hiperaktivitas. Perbedaan ini mencerminkan lanskap batin yang berbeda antara dua kelompok.
Sayangnya, hanya 2,6% remaja yang mengakses layanan kesehatan mental dalam setahun terakhir. Mayoritas memilih untuk bertahan sendiri, tanpa bantuan profesional. Beberapa lainnya bergantung pada teman dan keluarga, meski ruang tersebut sering kali tidak cukup untuk menangani beban emosional mereka.
Stigma dan Literasi Kesehatan Mental
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari stigma sosial dan rendahnya literasi kesehatan mental di masyarakat. Banyak orang tua memilih menangani masalah anak secara mandiri, bukan karena yakin mampu, tetapi karena tidak tahu harus melangkah ke mana. Stigma, kurangnya pemahaman, dan akses layanan yang terbatas membuat remaja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan yang tepat.
Di tengah situasi ini, pendekatan yang lebih inklusif, kontekstual, dan mudah dijangkau menjadi penting. Dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, pendekatan kesehatan mental yang berakar pada nilai-nilai Islam dan pendidikan spiritual sufistik dapat menjadi jembatan baru yang relevan.
Pendidikan Spiritual Sufistik
Pendidikan spiritual sufistik telah banyak dibahas oleh berbagai ahli. Menurut Ahmad Suhailah, pendidikan spiritual adalah penanaman cinta Allah di dalam hati peserta didik yang menjadikannya mengharapkan ridha Allah SWT di setiap ucapan, perbuatan, sikap, dan tingkah laku. Abu Bakar Aceh mendefinisikan pendidikan spiritual sebagai upaya mencari hubungan dengan Allah melalui proses pendidikan dan latihan sehingga seseorang dapat menemui (liqa) dan mempersatukan diri dengan Tuhan-Nya.
Adapun Mudlofir mendefinisikan pendidikan spiritual dalam Islam sebagai upaya pembersihan jiwa menuju Allah SWT. Dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang belum tunduk kepada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat, dari roh yang menjauh dari pintu Allah SWT.
Strategi Pendidikan Spiritual Berbasis Sufistik
Strategi pendidikan spiritual berbasis sufistik menurut Nazar dapat dilakukan melalui beberapa langkah, seperti:
- Manzilat al-taubat: meninggalkan hal-hal yang haram serta melakukan kewajiban dan kebaikan.
- Manzilat al-zuhd: melepaskan urusan dunia dan perhiasan dunia dari diri secara proporsional.
- Permusuhan dengan diri: tidak mendengar dan menuruti isyarat nafsu secara berlebihan, namun menjaga, mengoreksi, dan mengawasi jiwanya untuk tunduk kepada perintah Allah SWT.
- Manzilat al-mahabbah (cinta) dan qurbah (kedekatan): hati ditujukan kepada Allah SWT bukan kepada kekuasaan.
- Manzilah memerangi hawa nafsu: dengan khudu (ketundukan), tadarruj (langkah bertahap), dan khashah (ketakutan).
- Manzilah ketersingkapan hijab Ketuhanan: Allah SWT senantiasa melihat hamba ketika ia tiada henti melakukan ibadah kepada-Nya.
- Manzilah penampakan keagungan Ilahi: terjadi ketika seorang hamba mengalami ketersingkapan pada hijab ke-Tuhanan, sehingga ia mengalami keheranan dan kebingungan.
Selain itu, al-Husaini menjelaskan implementasi pendidikan spiritual berbasis sufistik dapat dilakukan melalui:
- Menggantungkan hati kepada Allah SWT dan membina hubungan yang erat dengan-Nya.
- Berzikir kepada Allah SWT secara kontinyu.
- Memperbanyak ibadah baik shalat, infak, sedekah, membaca Al-Qur'an, dan menghidupkan malam (qiyam al-lail).
- Merasakan pengawasan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri maupun ramai.
- Merenungi dan memikirkan mahluk ciptaan Allah SWT.
- Mencintai Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya.
- Mencintai Rasulullah dan keluarganya.
- Mencintai sahabat dan kaum muslimin.
- Mengingat mati dan mempersiapkan akhiratnya.
Studi Kasus di Yala, Thailand
Thamavittaya Mulniti School di Yala, Thailand Selatan, merupakan contoh sukses pendidikan spiritual berbasis sufistik. Sekolah ini menerima siswa dari berbagai latar belakang sosial ekonomi, dengan mayoritas berasal dari keluarga Muslim pedesaan dan perkotaan menengah ke bawah. Meskipun tumbuh dalam lingkungan religius, para remaja menghadapi tantangan kesehatan mental akibat pengaruh lingkungan sosial, tekanan akademik, serta posisi mereka sebagai minoritas di negara dengan mayoritas non-Muslim.
Nilai-nilai seperti muhasabah (introspeksi diri), dzikrullah (mengingat Allah), dan mujahadah (kesungguhan dalam melawan hawa nafsu) memberikan fondasi bagi para siswa/i untuk mengembangkan ketenangan batin dan kontrol emosi. Praktik-praktik ini membantu mereka membangun daya tahan menghadapi tekanan psikologis dan sosial, terutama dalam konteks minoritas.
Integrasi Pendekatan Spiritual Sufistik dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Data I-NAMHS 2022 menunjukkan bahwa layanan kesehatan mental formal bagi remaja masih sangat terbatas. Dalam situasi ini, staf sekolah, termasuk guru, pembina, dan konselor informal sering kali menjadi aktor pertama yang dihubungi ketika remaja mengalami tekanan psikologis. Namun, kemampuan mereka dalam melakukan intervensi masih bersifat sporadis, tidak terstandar, dan bergantung pada pengalaman personal.
Integrasi pendidikan dengan pendekatan spiritual, khususnya sufistik, menjadi salah satu strategi potensial untuk mengisi kekosongan tersebut. Pendekatan spiritual sufistik memiliki karakter khas yang berpusat pada pembinaan jiwa, penguatan kesadaran diri, dan penanaman ketenangan batin melalui praktik-praktik seperti dzikir, tafakkur, cinta kasih (mahabbah), dan introspeksi diri (muhasabah).
Melalui pelatihan guru sebagai pembimbing ruhani (murabbi), pembentukan kelompok sebaya berbasis dzikir dan diskusi spiritual, serta penciptaan ruang aman untuk refleksi emosional, remaja memiliki kesempatan untuk membangun regulasi emosi, ketangguhan psikologis, dan kecerdasan spiritual secara berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif, karena memampukan remaja menghadapi stres sosial, tekanan akademik, serta tantangan perkembangan diri secara lebih holistik.
0 Response to "Pendekatan Sufistik untuk Kesehatan Mental Remaja"
Posting Komentar